Underdog Effect Anies Baswedan, Spirit Baru Barisan Perubahan
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Setiap orang yang waras akal sehatnya, akan cenderung menyukai orang yang tidak diunggulkan. Termasuk, tentu saja dalam perkara politik. Layaknya JK.Rowling yang menciptakan kharakter underdog dalam Harry Potter. Dalam sejarah, tokoh yang tidak diunggulkan telah menjadi penggerak dan pemberi pengaruh sehingga meninggalkan warisan agung. Semacam kisah Nabi Daud, seorang penggembala kambing yang bertubuh kecil dan bukan prajurit. Dengan senjata ketapel dan batu kecil mampu mengalahkan raja Jalut.
Film The Matrix, diperankan oleh Keanu Reeves, menampilkan sosok Oracle – wanita tua yang ahli meramalkan masa depan, selalu memberikan gambaran siapa sosok “Yang Terpilih”. Dalam urusan politik di dunia nyata, ramalan tak selalu tepat. Tapi, usaha tetap dilakukan dengan kemasan “Ilmiah”. Begitulah bagaimana beragam Lembaga survei mencoba memainkan perannya. Jika ada sebuah Lembaga survei yang sekaligus merangkap sebagai konsultan politik, ketika merilis survei, jelas bakal memuat opini publik (bias). Punya kecenderungan menggiring opini publik. Temuan mungkin tampak ilmiah, tapi kejelian melihat, membaca data dengan saksama, menjadikan publik yang waras tak mudah termakan penggiringan opini publik yang coba dimainkan.
Kembali ke tema di atas, di dalam komunikasi politik, underdog effect dimaknai sebagai kecenderungan publik untuk menjatuhkan pilihan pada tokoh yang digambarkan (dalam hal ini melalui survei politik) lebih lemah atau lebih sedikit peminat dibanding lawan politiknya. Hal ini dapat disebabkan karena publik menginginkan alternatif baru, sehingga mereka yang dilihat lebih lemah menimbulkan efek psikologis tertentu terhadap publik.
Memaknai fenomena underdog effect ini, dalam hal ini adalah Anies Baswedan sepertinya bukan sesuatu yang merugikan, justru sebaliknya. Jika dimaknai dengan benar, sang tokoh dan tim Anies Baswedan dapat membuat strategi kampanye baru untuk memberikan citra bahwa dirinya adalah alternatif bagi pemilih yang layak untuk dipilih. Tentu melalui isu yang saat ini mengemuka, isu perubahan dan keadilan sosial.
Menengok kembali pilkada DKI yang memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno melawan Ahok-Jarot, di situ fenomena muncul. Dalam istilah teoritis survei, keadaan ini dapat melahirkan apa yang disebut sebagai wilder effect, yakni ketidaksesuaian hasil antara jajak pendapat dengan hasil akhir pilkada. Apakah hal ini bisa terjadi di ajang pilpres 2024? Sangat mungkin terjadi. Dan, pasangan Anies Baswedan-Cak Imin (AMIN) punya peluang menang yang sama dengan kandidat lain.
Kuncinya apa? Saya teringat Eep Saifulah Fatah dengan istilah “Barisan” dan “Kerumunan”. “Barisan” dibentuk oleh orang atau kelompok yang memainkan peran masing-masing secara dewasa, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di dalam barisan, setiap pihak berperan secara nyata dalam porsinya, dan mengedepankan adab didalamnya.
Sedangkan “Kerumunan” sering dimaknai sebagai kumpulan liar yang tak pandai mengelola diri, bekerja secara random dan serampangan, dengan spirit yang kadang menggebu-gebu tapi kadang malah menjadi bumerang.
Inilah penjelasan sederhana memaknai fenomena “Underdog” yang dihembuskan pegiat Lembaga survei. Justru dengan “direndahkan”, “dikecilkan” saya kira bisa menjadi cambuk para pendukung Anies Baswedan untuk berhimpun membentuk barisan pemenangan dengan sistemik, terukur dan professional.
Dengan barisan yang kokoh, angin perubahan itu semakin menghembus, melahirkan tatanan yang lebih baik dan berbeda dari sebelumnya. []