Saat negara-negara maju terus berinovasi menggunakan karya-karya riset terbaik mereka, dunia penelitian dan pengembangan Indonesia terus berkutat pada masalah yang sama. Meski presiden dan menteri terus berganti, belum ada yang memiliki kebijakan kuat untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selama dua dekade terakhir, persoalan riset dan inovasi Indonesia nyaris tidak banyak berubah. Anggaran yang terbatas, lambatnya perkembangan sumber daya riset, mandeknya hilirisasi hasil riset, bongkar pasang kelembagaan, hingga permainan sejumlah elite justru menghambat semangat dan kreativitas anak bangsa.
”Kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di Indonesia tidak netral terhadap politik,” kata Ketua Umum Pusat Kajian Teknologi dan Inovasi (Centre for Technology and Innovation Studies/CTIS) Wendy Aritenang di Jakarta, Sabtu (13/1/2024).
Kondisi ini berbeda dengan negara-negara maju. Meski pemimpin politik sering berganti, bahkan bisa lebih sekali dalam setahun, kebijakan ipteknya tidak berubah. Pemajuan iptek itu sebagai kepentingan negara, alat untuk menjaga kelangsungan hidup negara, dan bukan alat kepentingan politik kelompok tertentu.
Selain itu, visi, misi, dan program kerja calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) peserta Pemilu 2024 tentang pemajuan iptek juga lemah. Iptek bukanlah isu yang menarik karena selalu dipandang dalam kerangka waktu politik, apa yang ditanam sekarang harus berbuah sekarang juga. Padahal, iptek selalu berorientasi jauh ke depan.
Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (Almi) yang juga Guru Besar Ilmu Bedah Anak Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gunadi menambahkan, kecilnya anggaran riset dalam belanja negara ataupun persentasenya terhadap pendapatan domestik bruto menunjukkan rendahnya perhatian pemimpin negara terhadap riset dan inovasi.
Di mata capres-cawapres, riset dan inovasi memang bidang yang tidak populer. Mereka yang ada di sektor ini umumnya kelas menengah atas yang jumlahnya sedikit terhadap populasi. Namun, ”Mereka lupa bahwa riset dan inovasi menyangkut hajat hidup orang banyak,” katanya.
Penerapan kebijakan berbasis riset selama pandemi Covid-19 terbukti membawa Indonesia bisa melalui masa-masa suram lebih baik. Pembuatan kebijakan lumbung pangan (food estate) yang dilakukan tanpa dasar riset memadai juga terbukti hanya menghasilkan kegagalan.
Lemahnya perhatian capres-cawapres terhadap riset dan inovasi terlihat dari visi, misi, dan program kerja mereka. Banyak ditemukan kata ”riset”, ”inovasi”, dan ”hilirisasi” dari program kerja ketiga capres, tetapi hanya ditemukan satu frasa ”ilmu pengetahuan dan teknologi” atau ”ilmu pengetahuan” saja pada program kerja dua capres dan sama sekali tidak ditemukan pada capres lain.
”Inovasi memang bisa bermakna luas, tetapi inovasi terkait riset untuk menggerakkan industri dan mengungkit PDB negara dan pendapatan per kapita akan selalu bergandengan dengan iptek,” tambah Wendy.
Pemahaman capres-cawapres tentang riset dan inovasi juga dinilai tidak utuh. Proses hilirisasi yang tersebut masih terfokus pada hilirisasi pemanfaatan sumber daya alam dan industri manufaktur. Sementara hilirisasi hasil riset sebagai rangkaian proses dari riset, invensi, hingga melahirkan inovasi nyaris tidak terejawantahkan.
Hilirisasi sumber daya alam yang dilakukan pemerintah saat ini dinilai sudah baik. ”Namun, itu tidak cukup karena pada satu titik, sumber daya alam akan habis. Karena itu, hilirisasi yang dilakukan harus sehilir mungkin, tidak berhenti pada pembangunan smelter, tetapi sampai menghasilkan produk dengan nilai kompetitif tinggi,” katanya.
Namun, hilirisasi awal yang baru dilakukan pemerintah itu pun sudah mendapat gangguan sebagian kecil orang demi kepentingan politik. Upaya penjegalan ikhtiar memajukan karya anak bangsa memang sudah sering terjadi. Karena itu, Indonesia butuh presiden visioner untuk memajukan iptek dan berani memberantas pemburu rente.
Rendahnya perhatian pemerintah terhadap sektor penelitian dan pengembangan (litbang) itu ditunjukkan dengan kecilnya anggaran riset Indonesia. Anggaran litbang Indonesia terus stagnan dan menjadi yang terendah di antara negara-negara anggota G20, yaitu 0,28 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada 2020.
Bandingkan dengan dana litbang sesama anggota G20 lain, seperti Korea Selatan yang mencapai 4,93 persen PDB atau Turki 1,40 persen. Di kawasan ASEAN pun, dana litbang Indonesia kalah dibandingkan Singapura sebesar 2,16 persen, Thailand (1,33 persen), Malaysia (0,95 persen), Vietnam (0,43 persen), dan Filipina (0,32 persen).
Anggaran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2023 mencapai Rp 6,38 triliun. Sebanyak 64 persennya untuk biaya pegawai dan 36 persen atau Rp 2,33 triliun baru untuk riset. Selain BRIN, dana riset juga tersebar di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Agama karena kedua kementerian itu mengelola perguruan tinggi.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menyarankan, persentase anggaran riset untuk negara berpendapatan menengah atas, seperti Indonesia sekarang, berkisar 1-2 persen PDB. Dengan PDB Indonesia sebesar Rp 19,58 kuadriliun pada 2022, maka dana riset Indonesia minimal Rp 195,8-Rp 391,6 triliun alias 84-168 kali lipat anggaran BRIN sekarang.
”Siapa pun presiden yang terpilih nantinya, ilmuwan berharap mereka betul-betul serius memberi perhatian terhadap pengembangan sains dan teknologi,” tambah Gunadi.
Selain anggaran, ekosistem riset dan inovasi di Indonesia belum terbentuk. Kemampuan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih terbatas. Meski harapan lama sekolah 2023 pada anak usia tujuh tahun telah mencapai 13,15 tahun, kemampuan anak Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains sangat rendah. Pendidikan berkualitas masih jadi tantangan besar.
Meski anak-anak masa depan memiliki peluang pendidikan lebih baik, jumlah mereka yang mau menekuni bidang eksakta lebih sedikit. Konsekuensinya, jumlah peneliti dan insinyur atau perekayasa yang diperlukan untuk menopang riset dan inovasi serta industrialisasi mengalami kesenjangan tinggi.
Data Persatuan Insinyur Indonesia menyebut rasio jumlah insinyur Indonesia hanya 5.300 per sejuta penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Vietnam yang mencapai 9.000 orang atau Korea Selatan sebesar 20.000 insinyur per sejuta penduduk.
Jumlah peneliti tak kalah mengkhawatirkan. Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 menyebut jumlah peneliti di Indonesia hanya 1.071 orang per sejuta penduduk. Dengan rasio yang sama, jumlah peneliti di Korea Selatan mencapai 8.000 orang, Singapura 7.000 peneliti, dan Malaysia 2.590 peneliti. Situasi ini menunjukkan dunia riset kurang diminati anak-anak pintar Indonesia.
”Peningkatan kualitas SDM tidak bisa ditawar. Kita memang membutuhkan infrastruktur, tetapi jangan lupakan investasi manusia,” kata Wendy.
Selain itu, komitmen pemerintah menggunakan produk-produk dalam negeri juga perlu terus didorong, terutama produk-produk teknologi. Industri strategis terkait pertahanan keamanan, transportasi, hingga energi perlu diperkuat lagi. Model afirmasi ini dipastikan akan menarik dan menumbuhkan industri pendukung sehingga memberi dampak lebih luas bagi ekonomi bangsa.
Penataan lembaga riset juga perlu menjadi perhatian. Peleburan sejumlah lembaga litbang dalam BRIN pada 2019 masih menimbulkan masalah hingga kini. Meski proses adaptasi terus berjalan, banyak pihak menilai pembentukan BRIN sebagai lembaga tunggal yang membuat kebijakan, mendanai, dan juga melakukan riset tidaklah tepat.
Menurut Gunadi, pengelolaan semua aspek riset dan inovasi oleh BRIN membuat konflik kepentingan di lembaga itu sangat besar. Model organisasi riset superbody seperti BRIN yang mengurusi semua bidang keilmuan dan proses itu juga tidak ditemukan di negara lain. Besarnya organisasi justru akan membuat gerak organisasi makin lamban.
”Pembentukan BRIN memang amanat undang-undang, keputusan politik. Namun, seharusnya juga tetap memperhatikan idealitas lembaga riset, seperti yang dijalankan negara-negara lain,” katanya.
Siapa pun presiden yang akan terpilih pada pemilu 14 Februari 2024 nanti, berbagai tantangan pemajuan iptek harus bisa dijawab dan diafirmasi. Jika tidak, bukan hanya kemajuan iptek akan semakin stagnan, Indonesia juga bisa gagal memetik bonus demografi dan masuk ke dalam jebakan negara berpenghasilan menengah.
Penulis. Budi K ( Sumber: Harian Kompas, 14 Januari 2024)