Ini Dia Gaes Gaya Komunikasi Perubahan Anies Baswedan
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Diantara kandidat calon presiden (capres) 2024, Anies Baswedan menjadi sosok menarik dan berbeda dengan kandidat lainnya. Tokoh lain, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto dihadirkan sebagai calon pengganti Jokowi yang datang dari lingkar kekuasaan. Sementara, Anies Baswedan menjadi satu-satunya capres penantang sebagai antitesis kekuasaan yang saat ini masih bertengger. Apakah Anies Baswedan punya peluang memenangkan pertarungan? Komunikasi semacam apa yang perlu dimainkan untuk meraih lebih banyak dukungan? Kita bedah bersama.
Di dalam dunia pemasaran (marketing) secara umum, kita mengenal istilah brand positioning, sebuah strategi komunikasi pemasaran agar dapat menciptakan kesan tertentu yang begitu diingat oleh konsumen. Semacam BMW dengan ingatan kenyamanan berkendara, Lifeboy sebagai sabun kesehatan, NIKE sebagai merek yang dipakai atlet, atau Aplle dengan “Think Different” sebagai produk eksklusif yang berbeda dengan produk para pesaingnya.
Saya kira, dalam dunia politik, terutama dalam perkara branding tokoh, strateginya tak jauh berbeda. Masing-masing kandidat bakal menerapkan strategi positioning masing-masing. Menyoal positioning ini, saya kira posisi Anies Baswedan sangat jelas. Ia menawarkan angin perubahan. Sebuah harapan baru bagi tata kelola pemerintahan yang berbeda dari sebelumnya. Walau, tentu saja, publik masih perlu mendesak kandidat terkait untuk bisa mengelaborasi perubahan semacam apa yang ditawarkan dan memberikan harapan baru yang lebih baik.
Anies Baswedan, dalam salah satu pidato politiknya pernah menyingung perihal “Continuity dan Change”, bagaimana kesinambungan dan perubahan mesti digaungkan. Seperti biasanya, Anies Baswedan bicara tentang gagasan-gagasan besar yang kadang memang masih mengawang-awang karena belum konkrit menjawab solusi masalah keseharian warga. Pada beberapa kesempatan, kritik terhadap pemerintah juga dilontarkan. Pertanyaannya, apakah kampanye kesinambungan dan perubahan ini bakal efektif? Dalam arti yang pragmatis, apakah bisa mengantarkan kemenangan Anies Baswedan pada pilpres 2024 mendatang? Kita lihat.
Dari data beberapa lembaga survei, ada 30% pemilih yang memang sangat anti Jokowi. Tentu dugaan besarnya, mereka tidak akan memilih Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto pada pilpres 2024 kelak. Beragam kritikan terhadap pemerintah, tentu saja mengobati dahaga politik para pemilih itu. Hanya saja, tentu nalar perlu dinyalakan, bagaimana Anies Baswedan mampu merangsek masuk, menarik simpati pada 70% warga lainnya? Memang, angka statistik ini masih perlu diperdebatkan. Saya hanya ingin mengatakan, bagaimana Anies Baswedan bisa menarik simpati mereka yang dulu memilih Jokowi, juga mengalihkan dukungan pemilih Prabowo di pilpres lalu, untuk kemudian mendukung dirinya.
Kalau melihat gagasan tentang “Continuity” kesinambungan, sangat jelas dan normatif. Bahwa “pembangunan” yang baik (kalau ada) pada pemerintahan Jokowi perlu diapresiasi dan dilanjutkan. Tapi, masalah besar lain, tentu perlu perubahan. Di sinilah saya kira poin utamanya. Komunikasi perubahan Anies Baswedan menjadi jalan untuk meyakinkan publik. Kenapa? Karena poin inilah yang membedakan keberadaannya dengan capres lainnya.
Di mana kita paham betul bahwa politik sejatinya adalah pertarungan merebut hati publik, simpati publik, empati publik. Hanya mereka yang dapat meraih hati publik yang dapat memenangkan pertempuran politik. Mengutip Abraham Lincoln, “Publik sentiment is everything, with public sentiment nothing can fail, without it nothing can succeed”. Singkat tafsirnya, dengan sentiment publik, kita dapat melakukan apapun, tanpanya semua sia-sia.
Komunikasi perubahan Anies Baswedan memang punya tantangan. Satu diantaranya, perihal “Center of the game”, di mana Jokowi masih menjadi sentra rujukan. Fakta tak terbantahkan, partai-partai politik seolah menunggu kepastian mana capres yang benar-benar didukung Jokowi. Semua masih gelap. Istilahnya, ibarat kebun rahasia politik (the secret garden of politic), di mana kita tak pernah benar-benar tahu sebenarnya siapa yang didukung Jokowi, Ganjar atau Prabowo.
“Teori” ini yang bisa menjelaskan sampai detik ini, banyak partai yang masih tarik ulur, belum jelas menentukan dukungannya. Di sini, upaya membangun kesepahaman bersama (mutual understanding) masih diperlukan untuk menarik misalnya satu dua partai yang ikut mendukung. Sementara ini, partai yang tegas mendukung Anies Baswedan baru NASDEM dan PKS, sementara seperti biasa, Partai Demokrat masih galau. Titik kritisnya, jika AHY tak jadi cawapres, ada kemungkinan hengkang. Semoga prediksi saya keliru.
Tantangan berikutnya, serangan kampanye (attacking compaign) yang dilakukan buzzer politik di media sosial dan tangan-tangan kotor tanpa kejelesanan identitas di dunia nyata. Misalnya, muncul spanduk-spanduk Anies Baswedan “Bapak Politik Identitas,” “Tokoh Intoleran” dan seterusnya tanpa tahu siapa yang memasangnya. Semuanya ini adalah bentuk kampanye hitam (black campaign) yang basisnya adalah rumor, fitnah dan pembunuhan kharakter. Jalan antisipasinya tentu dengan kontra narasi.
Sebagaimana fenomena alamiah manusia sebagai “homo narrans” alias makhluk pencerita, semua orang bisa menjadi gandrung, selalu siap mendengarkan cerita-cerita. Maka, narasi tentang jejak rekam (track records) kepemimpinan Anies Baswedan selama memimpin DKI Jakarta perlu terus digemakan. Kombinasi antara gagasan-gagasan besar perubahan yang elaboratif, menjawab masalah keseharian warga, dan rekam jejak kepemimpinan di DKI Jakarta, saya kira bisa menjadi amunisi storytelling bagi keberhasilan komunikasi perubahan Anies Baswedan. Tujuan akhirnya, tentu dukungan publik demi kemenangan pada pilpres 2024 mendatang. []